Kisah Kasih di Sekolah



Rani


Cerita ini terjadi beberapa tahun yang lalu saat saya masih mengajar di kelas 1 Sekolah Dasar. Hari itu saya masuk kelas seperti biasa. Menyapa siswa kelas 1 yang berjumlah kurang dari sepuluh. Memang hampir semua kelas di sekolah kami jumlah siswanya kurang dari sepuluh.

Saat mengabsensi siswa saya kaget mendengar pertanyaan salah seorang siswa,

"Bu Guru mah gening sakola bae. Boa bu guru mah tara ngagon nya? Terus bu guru si kuma mam na mun tara ka sawah si? Meunang beas na timana?"

Saya kaget dengan pertanyaan itu, karena Rani adalah siswa yang menurut pendapat saya biasa saja di dalam kelas. Biasa saja dalam arti bukan siswa yang tergolong pandai di kelas. Rani bahkan tergolong lambat. Diantara seluruh siswa di kelas 1, hanya rani seorang sajalah yang belum mahir membaca, menulis dan berhitung. Saat teman-temannya menulis, rani hanya diam. Saat teman-temannya membaca dengan cukup lancar, rani belum mengenal huruf. Boro-boro kata, mengeja huruf saja dia masih bingung.

Pernah suatu hari, ketika saya sedang mendikte, semua siswa tampak mendengarkan dengan serius dan menulis kata demi kata yang saya diktekan, di buku tulis mereka. Semua siswa, termasuk rani. Lima kata yang saya dikte waktu itu. Buku tulis siswa pun dikumpulkan dan dinilai. Seperti biasa, ada yang benar dan ada juga yang belum benar. Hingga tiba giliran saya membaca buku rani, dan saya dibuat bengong dengan tulisan yang ada di buku itu.

Ternyata isinya hanya angka satu yang berjajar. Garis, garis, garis. Itu saja. Saya terkejut bukan main. Iya memang, Rani belum mahir membaca atau menulis. Tapi sampai seperti itu.


Saya mengira rani mendengarkan dan menulis apa yang saya dikte. Saya mengira rani bisa menulis dengan benar kata-kata yang saya dikte, karena dia terlihat tenang. Tidak ada wajah bingung saat saya mendikte. Tidak ada gelagat yang menunjukan kalau dia tidak bisa. Biasanya, saat anak kelas 1 yang tidak bisa membaca atau menulis, ia akan terlihat bingung, atau bahkan menangis. Beberapa siswa berani bertanya, atau mendekati meja guru untuk bertanya. Tapi rani, dia diam saja. Dia terlihat biasa, tidak ada gejala kalau dia bingung atau tidak mengerti harus menulis apa misalnya. Tapi lihat hasilnya,  dia hanya menulis garis-garis lurus saja. tidak ada satu huruf pun, karna garis itu pun tidak layak disebut "i".  Tidak ada kata yang ditulis dengan benar. Satu kata saja, dari lima kata yang saya dikte, tidak ada. Boro-boro semuanya.

Saya juga masih ingat saat hari pertama masuk sekolah, siswa baru kelas 1 masuk dengan diantar oleh orang tua masing-masing. Beberapa ada juga yang diantar oleh kakaknya, neneknya, atau bibinya. Dan saat saya melihat rani, dia sendiri. Tidak ada yang mengantarnya ke sekolah di hari pertama ia sekolah. Saat saya bertanya ia diantar siapa, rani hanya menggeleng.

Satu hal yang menarik padanya, yang tidak dapat saya lupa pada pandangan pertama di hari pertama masuk sekolah adalah pakaiannya. Seragam yang dikenakan rani. Iya, seragam sekolah yang dikenakannya terlihat berbeda. Bukan karena warnanya tidak merah putih seperti seragam SD pada umumnya, atau bukan juga karena ia memakai seragam TK, tapi karena seragam itu terlihat lusuh. Sangat berbeda dan terlihat mencolok diantara teman sekelasnya yang semua memakai baju baru. tentu saja, mereka semua siswa baru di kelas 1 SD. Dan rani, jilbab putihnya tampak kecoklatan, bajunya kebesaran, rok warna merahnya (aaah, lebih seperti pink sebenarnya) sangat kusut. Agak lama saya memperhatikan jilbab yang ia kenakan, selain berwarna kecoklatan, jilbab itu juga terlihat terlalu besar untuk anak kelas 1 SD, sehingga poni rambutnya banyak keluar. Di bawah dagu juga terlihat peniti yang membuat jarak antara wajah dengan jahitan jilbab yang sesungguhnya. Rani terlihat sering sekali memutar jilbabnya, menariknya ke belakang, tapi tetap saja tidak rapi. Malah semakin banyak rambut yang keluar.

Saat saya bertanya tentang nama-nama mereka, satu per satu, siapa namanya, nama panggilannya, punya adik atau kakak berapa, dan seterusnya, semua menjawab dengan gayanya. Dan rani, dia biasa saja. Tidak ada yang aneh dari caranya menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang saya ajukan.

Tapi hari ini, saat rani bertanya tentang saya dan sawah, saya terkejut luar biasa. Seorang rani yang menurut saya kecerdasannya di bawah rata - rata teman satu kelasnya hanya karena dia tidak pandai membaca, menulis, dan berhitung ternyata melontarkan pertanyaan yang menurut saya memerlukan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir yang bukan sekedar mengingat dan menghafal. Bukan sekedar menghafal huruf dan angka. Tetapi pemahaman dan analisis.

Bagaimana bu guru makan kalau bu guru tidak pergi ke sawah. Bagaimana bu guru bisa dapat beras kalau bu guru tidak pergi ke sawah.

Sebagian orang mungkin menganggap pertanyaan ini adalah pertanyaan biasa saja, atau cenderung menganggap ini pertanyaan yang bodoh. Tapi bagi saya ini pertanyaan luar biasa dari seorang siswa yang saya anggap memiliki kemampuan biasa saja. Pertanyaan ini menunjukan bahwa dia berpikir. Dia berpikir bagaimana bu gurunya bisa makan kalau setiap hari ke sekolah. Bagaimana bu gurunya bisa dapat beras kalau tidak pernah ke sawah.

Saya sangat menyesal menganggap rani anak yang kecerdasannya biasa saja hanya karena teman-temannya bisa membaca sedangkan dia bahkan belum hafal huruf. Saya salah menganggap rani anak yang kurang cerdas hanya karena dia tidak cakap menuliskan kata saat dikte.

Ternyata rani mampu berpikir tingkat tinggi. Ternyata rani bisa memahami dan menganalisis, kemampuan berpikir yang lebih tinggi dari mengingat.

Iya memang, membaca, menulis, dan berhitung adalah penting. Sangat penting untuk mendapatkan pengetahuan. Tapi bukan berarti anak yang terlambat dalam calistung adalah anak yang tidak cerdas, karena setiap anak istimewa. Setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan masing - masing. Begitu juga rani.











Bagus


Kisah kali ini tentang Bagus. Sebenarnya, nama yang tercetak di akta kelahiran adalah Bagas, tetapi orang - orang memanggilnya bagus. Dan bagus sepertinya lebih nyaman bila dipanggil bagus. Begitulah, maka saya pun memanggilnya bagus.

Namanya memang bagus, wajahnya juga lumayan bagus. Kulitnya putih, cerah dan enak dilihat. Anak ini lebih terlihat seperti anak priyayi dari pada anak petani. Satu hal yang kurang bagus darinya menurut saya adalah dia terlalu pendiam.

Pernah suatu hari dia duduk di depan kelas, dia tidak mau masuk kelas meskipun saya sudah mengajak dan membujuknya. Bagus tetap bertahan di depan kelas. Duduk di dekat pintu, menempelkan badan ke tembok. tidak bergerak.

Saya berpikir, ada apa dengan anak ini. Kenapa dia tidak mau masuk kelas. Dia diam saja, tidak mengatakan apa pun. Menangis pun tidak. Diam, hanya diam. Dan ekspresi di wajahnya, datar.

Sungguh saya bingung. Akhirnya saya putuskan untuk memanggil ibunya, karena saya bingung dan tidak tau lagi harus berbuat apa. Saya jemput ibunya di rumahnya, dengan menggunakan motor.



Komentar